Nah para tetangganya dulu ini juga pada ngebangun rumah tapi mepet di batas tanahnya. Jadinya buat akses jalan ia lewat halam si nenek yang emang masih luas. Lambat laun halam nenek ini malah terkesan kayak jalanan umum. Sampe pada akhirnya pun diaspal. Si nenek iklas toh buat bersama juga, kata dia yang penting orang2 tau aja itu tetep tanah dia, bahkan di akta tanah pun juga ada batas jelasnya, jadi walau diaspal setiap tepian jalan, tetep nenek itu yang bersihin dan rawat, ditanamin pohon dan lainya.
Waktu berlalu, jalanan pun diaspal oleh pemerintah. banyak pendatang yang datang. Orang2 dulu mulai banyak yang pergi, ada yang meninggal, ada yang mgejual tanah/rumahnya dan lainya. Hingga hampir sebagian besar penduduk sekitar berubah. Si nenek masih tinggal di sana. Tapi orang2 nggak tau bahwa jalan yang selama ini mereka lewatin itu bukan jakan umum, melainkan tanah dari si nenek. Beberapa pemuda mulai lah nakal, ada yang buang sampah sembarangan, ada yang mengacak acak tanaman di jalan itu, dan ada juga yang ingin membuat gapura (bahkan tiang sudah ditancap). Tapi nenek itu selalu menghalangi dan menolak setiap usulan. karena ia merasa ini tanahnya, segala nya harusnya izin dulu. Tapi orang2 nggak peduli itu. Akhirnya si nenek ini pun di benci.
Dalam fikiranku, ini benernya si nenek kalo jahat ya, bisa aja dia nutup jalanan. Kan dia yang punya lahan, tapi dia bilang dia nggak sampe hati sih. Tapi selama dia masih hidup, dia ingin ngejaga tanah leluhurnya itu semampunya. Dia cuma mau orang2 tau aja dan nggak sembarangan bertindak dintanah orang, kalo memang mau digunakan untuk apa yang izin dulu.
Nah disini mirip dengan kasus gwk, dimana disini pihak gwk sebagai pemilik tanah ngikutin intrisuf thoughtnya buat nutup jalan, bedanya si nenek masih ada hati nurani buat ngebuka jalan. Btw jalanya ini bukan jalan utama, tapi jalan pintas yang mayan rame, jadi seandainya ditutup nggak kebayang dah ekonomi sekitar yang keganggu.